Sabtu, 04 Oktober 2008

Guru Berkualitas:

Dunia Desakkan Kualitas Guru
Serukan Perbaikan Kesejahteraan dan Kondisi Kerja Guru

Sabtu, 4 Oktober 2008 | 01:33 WIB

Jakarta, Kompas - Tersedianya guru berkualitas menjadi salah satu tantangan terbesar dunia saat ini guna mencapai pendidikan untuk semua orang. Oleh karena itu, pemerintah diminta membuat kebijakan nasional yang menjamin tersedianya guru berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan dan kondisi kerja guru.

Desakan dunia untuk meningkatkan kualitas guru, sosok yang berperan penting dalam pencapaian pendidikan bermutu bagi semua orang atau education for all (EFA), itu disampaikan dalam pesan bersama Direktur Jenderal UNESCO (Badan PBB untuk Pendidikan, Sosial, dan Budaya) Koichiro Matsuura, Direktur Jenderal International Labour Organization (ILO) Juan Somavia, Administrator United Nations Development Programme (UNDP) Kemal Dervis, Direktur Eksekutif Unicef (Badan PBB untuk Masalah Anak-anak) Ann M Veneman, dan Presiden Pendidikan Internasional Thulas Nxesi. Pesan bersama ini dipublikasikan UNESCO dalam rangka merayakan Hari Guru Sedunia yang jatuh pada 5 Oktober.

Pengutamaan kualitas guru itu karena harapan masyarakat yang begitu tinggi pada guru. Para pendidik diminta bisa memberikan layanan pendidikan bermutu guna menyiapkan masyarakat agar bisa menjawab tantangan-tantangan baru di berbagai bidang.

Tantangan itu di bidang ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, serta pertanyaan yang berhubungan dengan pekerjaan yang layak bagi semua orang, epidemi AIDS, dan kekerasan di sekolah.

Suparman, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia, Jumat (3/10) di Jakarta, mengatakan, guru berkualitas harus didukung dengan perbaikan kondisi kerja guru, mulai dari hak dasar seperti gaji, tunjangan, dan jaminan sosial serta fasilitas kerja yang juga mampu meningkatkan kondisi belajar anak.

Itu berarti, untuk meningkatkan mutu guru tidak bisa mengandalkan guru sendiri, tetapi butuh dukungan dan komitmen besar dari negara atau pemerintah.

Kebijakan diskriminatif

Suparman mengatakan, pemerintah sudah membuat kebijakan nasional soal guru di dalam UU Guru dan Dosen. Namun, isinya dinilai masih diskriminatif antara guru pemerintah dan swasta.

”Padahal, apa yang direkomendasikan UNESCO-ILO pada 1966 yang kemudian diakui sebagai Hari Guru Sedunia itu, jangan ada diskriminasi apa pun dalam hal kesejahteraan dan kondisi kerja antara guru pemerintah dan swasta. Pada kebijakan yang dibuat pemerintah, diskriminasi itu sangat kentara yang merugikan guru swasta dan guru honorer,” kata Suparman.

Jika mengacu pada syarat yang ditetapkan UU Guru dan Dosen, antara lain guru berkualitas harus berkualifikasi pendidikan D-IV/ S-1. Sebanyak 1,7 juta guru di Indonesia masih berpendidikan SMA-D-III. Baru satu juta guru berkualifikasi S-1 hingga S-3.

Kesejahteraan guru memprihatinkan. Masih banyak guru yang digaji Rp 50.000-Rp 100.000 per bulan. Adanya status kerja guru honor daerah dan guru honor sekolah menyebabkan posisi guru lemah dan sewaktu-waktu bisa dipecat tanpa menerima haknya.

Penghargaan minim

Harapan tinggi pada kualitas guru ini tidak sejalan dengan penghargaan yang diberikan pemerintah dan masyarakat kepada guru. Banyak guru di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, masih digaji amat rendah, mengajar di kelas yang sangat padat, keamanan kerja rendah, serta minim pelatihan.

Oleh karena itu, perayaan Hari Guru Sedunia tahun ini ditekankan pada seruan tentang pengembangan kebijakan soal guru sebagai dasar penting untuk menjamin perekrutan guru yang berkesinambungan dan berkualitas tinggi.

UNESCO menyebutkan, banyak negara kekurangan guru, terutama di wilayah terpencil dan berbahaya. Dunia butuh tambahan 18 juta guru untuk bisa mencapai EFA pada 2015. Kebutuhan guru bisa lebih besar lagi jika persyaratan kualifikasi guru berkualitas benar-benar diterapkan di setiap negara.

Untuk mengatasi kekurangan guru dan menjawab tuntutan dunia pada guru berkualitas, pemerintah harus mengangkat guru yang tepat dan sesuai kebutuhan, melatih guru secara total dan tepat, serta mengatur penyebaran guru. Guru juga harus diberi gaji dan insentif yang sesuai dengan kualifikasi pekerjaan, meningkatkan kondisi hidup yang lebih baik, dan memberikan kesempatan pengembangan karier bagi setiap guru. (ELN)

Jumat, 08 Agustus 2008

Kisah ::

INGGRIS MODERN-KAN BUKU TUA

DUKUTIP DARI: detik@plinplan on 01 Oct 2007 http://detik.plinplan.com/2007/10/01/inggris-moderenkan-buku-tua/

Inggris - Buku-buku tua milik perpustakaan Inggris akan dimoderenkan melalui proses digital. Jumlahnya lebih dari 100.000 buku yang merupakan keluaran abad 18 dan 19. Menurut rencana, sebagai langkah awal dari program ini, buku-buku keluaran abad 19 akan lebih diprioritaskan.

Pasalnya, kumpulan buku di masa itu dianggap kurang begitu dikenal karena hanya dicetak ulang dalam jumlah yang sedikit setelah edisi pertamanya. Program digitaliasi ini ditujukan untuk memudahkan para pendidik dalam mencari referensi dalam mengajar. “Jika tidak ada edisi modern, para pengajar tidak dapat menggunakannya saat mengajar,” ujar Dr Kristian Jensen, dari perpustakaan Inggris.Setiap harinya jumlah halaman yang dipindai mencapai 50.000 halaman. Ada 30 terabyte kapasitas data yang disediakan untuk menampung proyek ini.

Diharapkan, 25 juta halaman pertama dapat selesai dalam kurun waktu dua tahun. Sementara kategori baru akan melengkapi kumpulan buku sejarah yang telah lebih dahulu tersedia versi digitalnya.Ada dua sumber komersial yang ikut serta dalam program ini, yaitu The Early English Books Online dan The Eighteenth Century Collections Online. Mereka menyediakan koleksinya secara cuma-cuma bagi institusi pendidikan tinggi di Inggris.

Sumber digital lain untuk melengkapi koleksi perpustakaan Inggris akan berasal dari dua juta halaman surat kabar dari abad 19 dan satu juta halaman dari abad 18.Seperti dikutip detikINET dari BBC, Senin (1/10/2007), untuk mengakses versi digital ini akan disediakan dua cara, yakni melalui Microsoft’s Live Search Books dan melalui situs perpustakaan Inggris.Situs ini juga dilengkapi fitur ‘pencarian teks’ untuk memudahkan orang dalam mencari buku-buku yang diinginkan, karena tinggal mengetik kata kunci dari materi yang dicari.

Jika Microsoft bekerja sama dengan perpustakaan Inggris, lain lagi dengan Google.Seakan tak mau kalah, raksasa mesin pencari di internet ini juga telah menggandeng lima perpustakaan ternama sekaligus, yakni Stanford, Harvard, Michigan, New York dan Bodleian di Oxford.
--------------------------------------------------------

Buku untuk Semua ::

BMD (Buku Masuk Desa)

Oleh: Nurani Soyomukti, Ketua TAMAN BELAJAR UNTUK RAKYAT (T.A.B.U.R)

Keterpinggiran masyarakat pedesaan di Indonesia bukan hanya menggambarkan kondisi kemiskinan, tetapi juga keterbelakangan budaya. Salah satu mandegnya budaya dan peradaban desa tersebut disebabkan oleh minimnya akses informasi dan pendidikan yang ada. Salah satu indikatornya adalah minimnya budaya baca di daerah pedesaan.Ketika modernisasi secara perlahan-lahan memasuki wilayah pedesaan, ternyata tidak juga diikuti dengan kemajuan pendidikan yang berarti, terutama pemerintah (daerah) juga masih setengah hati untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan dan pembelajaran.

Tak heran, jumlah penduduk buta huruf dan tidak menikmati budaya baca-tulis kebanyakan ada di daerah pedesaan tersebut.Kebanyakan penduduk desa masih terbelakang seiring dengan rusaknya kondisi tanah dan menyempitnya lahan, juga menurunnya produktifitas lahan. Untuk daerah pedesaan di wilayah Jawa Timur, misalnya, banyak orang yang menyabung nyawa dengan menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri seperti Timur Tengah, Malaysia, Taiwan, Brunei, dll. Dari situlah mereka mampu meningkatkan pendapatan perekonomiannya.Akan tetapi itupun harus mengorbankan banyak hal. Seperti nasib perkembangan anak-anak yang ditinggalkannya.

Orang tua dari anak yang ditinggalkannya tidak bisa lagi mengontrol perkembangan anak karena harus berjuang mencari penghasilan di negeri orang. Sedangkan, jauh dari orangtua juga membuat anak mengalami perkembangan psikologis yang tidak sehat, kurang perhatian dan kasih sayang yang mengganggu perkembangannya menjadi dewasa.Kemajuan di daerah pedesaan secara fisik memang akan membuat masyarakatnya mampu menjangkau produk-produk seperti TV yang dapat digunakan sebagai benda yang mendatangkan informasi dan (terutama) hiburan. Maka kehadiran TV yang kini semarak di pedesaan tersebut di satu sisi juga menghasilkan kejutan budaya (cultural shock). Masalahnya, realitas yang ada di pedesaan seringkali jauh dari apa yang digambarkan di TV-TV.

Tayangan TV yang didominasi oleh budaya urban sama sekali berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan di wilayah pedesaan (rural) dan pinggiran. Ketegangan budaya inilah yang pada akhirnya akan menghasilkan perkembangan psikologis masyarakat yang kurang sehat.Pada saat seperti itulah, sebenarnya pemerintah dan kalangan lembaga swadaya masyarakat menekankan pada program-program pendidikan dan pembelajaran di daerah pinggiran. Anak-anak daerah pinggiran juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak di daerah perkotaan.

Mereka memiliki hak untuk mendapatkan kegiatan pembelajaran dari siapa saja, berhak mendapatkan kegiatan bermain yang menyenangkan dan merangsang kreatifitas otaknya.Salah satu indikator dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan di pedesaan ini adalah minimnya buku-buku yang dapat diakses oleh anak-anak dan kaum pemuda/pemudi. Buku di daerah pedesaan merupakan barang yang asing dan mahal. Asing dalam makna bahwa sebagai produk modernitas juga, buku belum menjadi kebutuhan.

Belum menjadi kebutuhan ini salah satunya karena kurang sosialisasi dari pemerintah yang seharusnya mengkampanyekan budaya baca di kalangan rakyat dengan diiringi pemenuhan buku-buku yang layak dan bermanfaat bagi masyarakat pedesaan. Mahal dalam makna bahwa sebelum membeli buku mereka harus berpikir karena untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang lebih pokok untuk mempertahankan hidupnya saja masih kesulitan.

Buku Bukan Benda Komersil
Orangtua dari anak-anak yang berada dalam usia sekolah saja biasanya kesulitan untuk membayar harga buku-buku teks yang dibebankan sekolah. Naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan ini sangat mencekik orangtua murid di pedesaan. Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku tersebut, sehingga banyak orangtua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orangtua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.Anggapan yang ada di benak orantua seperti itu seharusnya dijadikan oleh pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada.

Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena adanya kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada.Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945.

Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta (kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan.

Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.Hal itu akan jelas jika kita melihat sejarah perbukuan Indonesia yang sangat penuh dengan kepentingan kekuasaan. Mulai munculnya penerbitan buku pertama kali, yaitu Balai Pustaka yang penuh kepentingan kolonial Belanda dalam menjajah negeri kita. Muatan buku sendiri juga dikontrol oleh pemerintah, terutama pada jaman pemerintahan Orde Baru yang bertujuan untuk memanipulasi dan membodohi rakyat akan sejarah bangsanya sendiri.

Kita masih ingat dilakukannya penangkapan para aktivis yang membawa buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer di tahun 1980-an. Belakangan buku teks sejarah juga masih dimanipulasi dan dikontrol oleh kekuasaan yang bernuansa Orde Baru. Buku-buku teks pelajaran sekolah harus senyertakan kata “G 30/S/PKI” setelah terjadi penghapusan kata PKI karena memang sejarah tahun 65 masih belum menemukan kejelasan.Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggungjawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat.

Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat. Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya.

Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada. Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan. Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.***

-----------------------------------------------------------

Kutu Buku Tuku Buku ::

Menuju Peradaban Buku?

Oleh: Nurani Soyomukti, Ketua TAMAN BELAJAR UNTUK RAKYAT (TABUR) Trenggalek

Jika seorang Ziaudin Sardar memaklumatkan bahwa abad 21 adalah peradaban buku, apakah pergantian tahun menuju 2008 ini kita akan menuju peradaban buku? Nampaknya masih jauh.Kita patut berbahagia pada saat tahun 2007 masyarakat Jawa Timur, terutama masyarakat korban lumpur Lapindo, mendapatkan pertolongan dari seorang artis selebritis seperti Rieke Diah Pitaloka yang mendirikan perpustakaan untuk anak-anak. Di tengah bencana Lumpur panas yang menghancurkan sekolah-sekolah, kegiatan mengumpulkan buku-buku dan mendekatkannya pada anak-anak merupakan sebuah berkah yang memberi titik cerah bagi peradaban.Akan tetapi kita juga patut resah karena masih ada kalangan yang begitu membenci buku.
Ada kejadian pada tahun 2007 di mana buku-buku dibakar hanya gara-gara tidak mencantumkan kata PKI dalam buku-buku sejarah—pada hal peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 memang masih belum tentu semata-mata kesalahan PKI. Pembakaran buku-buku sejarah terjadi di Madiun dan beberapa kota Jawa Timur. Selain itu, betapa menyedihkannya membaca berita tentang seorang Walikota, pimpinan masyarakat perkotaan, berada di depan mempelopori penghancuran terhadap peradaban buku. Adalah Nurmahmudi Ismail, walikota depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7/2007).
Yang ada dalam pikiran kita adalah, kenapa masih ada saja pemimpin rakyat yang memundurkan kebudayaan dan peradaban bangsa, berada di depan untuk menghambat dan menghancurkan budaya ilmiah dan kebebasan berimajinasi dan berekspresi rakyatnya. Kita juga bertanya, adakah pemimpin-pemimpin di negeri terdahulu juga melakukan hal yang sama?Nasib buku di negeri ini harus diakui juga masih memprihatinkan. Bukan hanya Orde Baru yang melarang penerbitan buku-buku kritis, hingga kini masih seringkali terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku yang celakanya berasal dari kalangan masyarakat sendiri yang sering mengklaim kebenaran menurut kelompoknya. Artinya, buku sebagai media menyampaikan bahasa tidak mendapatkan ruang demokratis di negeri ini. Inilah salah satu penghambat perkembangan kebudayaan kita.
Buku Mahal
Di Jawa Timur, misalnya, anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) memberikan dana yang cukup kecil untuk pengadaan buku. Anggaran Persebaya lebih besar dibandingkan untuk buku bagi perpustakaan dan sekolah (Kompas Edisi Jawa Timur, 25/11/2006). Pada hal masyarakat Jawa Timur masih banyak yang membutuhkan kecerdasan literer.Akibatnya, hambatan utama bagi lahirnya peradaban buku dan peradaban literer adalah mahalnya harga buku-buku karena kurangnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Dari tahun ke tahun, naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan ini sangat mencekik orangtua murid di pedesaan.
Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku tersebut, sehingga banyak orangtua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orangtua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.Anggapan yang ada di benak orangtua seperti itu seharusnya dijadikan oleh pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada.
Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena adanya kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada.Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945.
Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta (kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan. Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.
Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggungjawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat. Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat.
Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya. Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada. Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan.
Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.***
----------------------------------------------------------